Dari deretan pemikir Islam nusantara, nyaris kita tidak
menjumpai nama Bung Karno. Padahal, Proklamator Kemerdekaan Republik
Indonesia itu punya cara pandang dan gagasan yang menarik mengenai
Islam.
Ikatan Bung Karno dan islam tidak sulit dijelaskan. Bukan hanya
karena dia memang pemeluk Islam. Sebagai manusia pergerakan, dia pernah
berlabuh di dua organisasi islam, yaitu Sarekat Islam (SI) dan
Muhammadiyah.
Lalu, ketika menjalani pembuangan di Ende (NTT) dan Bengkulu,
kira-kira antara tahun 1934-1942, Bung Karno banyak belajar dan
menyelami Islam. Di periode itu juga dia banyak menulis dan berpolemik
tentang Islam.
Tulisan-tulisan Bung Karno ibarat “palu godam” yang menghantam
golongan konservatif dalam Islam saat itu. Dia tidak segan menelanjangi
kebusukan orang-orang yang memperalat Islam untuk kepentingan pribadi.
Untuk orang-orang semacam ini, Bung Karno menyebutnya “Islam sontoloyo”.
Sebaliknya, Bung Karno menghadirkan Islam dengan wajah yang
progressif dan emansipatoris. Karena itu, saya menggolongkan Bung Karno
sebagai pemikir Islam progressif.
Untuk memperkuat kesimpulan itu, saya menghidangkan tiga alasan paling mendasar.
Pertama, Bung Karno selalu berusaha me-“muda”-kan pengertian Islam,
dengan menyeleraskannya dengan perkembangan masyarakat dan semangat
zaman. Dia ingin menjadikan Islam sebagai agama yang hidup. Dia ingin Islam ber-panta rei: segala hal mengalir, segala hal selalu berobah, segala hal mendapat perbaharuan.
Nah, agar Islam senapas dengan semangat zaman ini, berarti islam
harus melakukan pembaharuan. Tentang ini, Bung Karno menegaskan, “pokok
tidak berobah, agama tidak berobah, Islam-sejati tidak berobah, firman
Allah dan sunah Nabi tidak berobah, tetapi pengertian manusia tentang
hal-hal inilah yang berobah. Pengoreksian pengertian itu selalu ada, dan
musti selalu ada.”
Jelaslah, Bung Karno tidak ingin merombak ajaran dasar Islam,
khususnya Al-Quran dan Hadist. Sebaliknya, yang hendak dimajukan adalah
interpretasi atau penafsiran manusia terhadap Al-Quran dan Hadist
tersebut. Nah, untuk penafsiran itu, Islam harus bergandengan tangan
dengan rasionalisme.
“Akal kadang-kadang tak mau menerima Qur’an dan Hadits shahih itu,
bukan oleh karena Qur’an dan Nabi salah, tetapi oleh karena cara kita
mengartikannya adalah salah. Kalau ada sesuatu kalimat dalam Qur’an atau
sabda Nabi yang bertentangan dengan akal kita, maka segeralah
Rasionalisme itu mencari tafsir, keterangan, yang bisa diterima dan
setuju dengan akal itu,” jelas Bung Karno.
Kedua, Bung Karno mengidentikkan Islam dengan kemajuan. Bagi Bung
Karno, islam itu kemajuan. Menurut dia, Al-Quran dan hadist mewajibkan
umat Islam menjadi “cakrawarti” di lapangan ilmu pengetahuan dan
kemajuan.
Karena itu, Islam ala Bung Karno tidak anti-kemajuan dan tidak
anti-teknologi. Sebaliknya, bagi Bung Karno, islam itu kemajuan. Dia
menentang Islam yang suka “mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan,
mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan
ke-uptodate-an”.
Bung Karno sadar, masyarakat selalu berkembang maju, dengan cara-cara
berproduksi dan relasi sosialnya. Gerak maju masyarakat itu bersifat
mutlak, tak terhindarkan. Karena itu, dengan meminjam kata-kata pemimpin
Turki Kemal Attaturk, Bung Karno mengatakan, “Islam tidak menyuruh
orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tashbih,
tetapi Islam ialah perjoangan.” Artinya, orang Islam harus ikut dalam
pergulatan sosial, termasuk dalam menyerap pengetahuan dan nilai-nilai
baru yang progressif.
Ketiga, Bung Karno menentang diskriminasi terhadap perempuan. Perlu
diketahui, Bung Karno adalah pengeritik paling keras dan paling pedas
terhadap penerapan tabir yang mengurung perempuan.
Bagi Bung Karno, tabir itu simbol perbudakan dan ortodoksi. Menurut
dia, Islam tidak mewajibkan tabir, tetapi orang-orang Islamlah yang
mengada-adakan tabir. “Saya menolak sesuatu hukum agama yang tidak nyata
diperintah oleh Allah dan Rassul,” kata Bung Karno dalam risalahnya, Tabir adalah Lambang Perbudakan, 1939.
Bung Karno sadar, memang ada batasan berpandangan wajah antara
laki-laki dan perempuan dalam Islam. Tetapi batasan itu tidak bisa
dimaknai secara kaku dengan membuat tabir. Menurutnya, umat Islama cukup
menjaga hati dan matanya masing-masing.
Bung Karno melihat tabir bukan hanya selembar kain, tetapi sebuah simbol dari maatschappelijke positie (posisi sosial) perempuan. Tabir menjadi penanda posisi sosial perempuan yang dianggap rendah dalam struktur sosial.
Padahal, kata Bung Karno, Islam hadir justru untuk mengangkat derajat
kaum perempuan. Bukan merendahkan, apalagi memperbudak kaum perempuan.
Keempat, Bung Karno membuat Islam itu berapi. Dia selalu menganjurkan
agar umat Islam mengambil intisari dari ajaran Islam itu, bukan kulit
luarnya. Ambil apinya, bukan abunya!
Argumentasi Bung Karno ini beralasan. Dia mencontohkan pada
“pernikahan semalam” di Priangan. Sebetulnya itu praktek perzinahan atau
pelacuran terselubung. Namun, agar terkesan sah menurut agama, maka
penghulu menikahkan pasangan itu. Kendati besoknya pernikahan itu bisa
bubar.
Kritik Bung Karno ini juga relevan dengan kecenderungan sebagian
orang yang menyerap mentah-mentah gaya orang Islam dari Arab. Sehingga
kadang-kadang gagal memilah mana ajaran Islam dan mana bentuk kebudayaan
barat.
Ini persis dengan kritik Almarhum Gus Dur: “Islam datang bukan untuk
mengubah budaya leluhur jadi budaya Arab, bukan untuk ‘aku’ menjadi
‘ana’, ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, dan ‘sedulur’ menjadi ‘akhi’… Kita
pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, bukan budaya
Arabnya.”
Kelima, keberpihakan kepada si miskin dan kaum tertindas. Bung Karno
mendorong praktek Islam yang punya empati atau keberpihakan kepada si
miskin dan tertindas.
Seperti ditegaskannya pada tahun 1946: “Orang tidak dapat mengabdi
kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia, Tuhan
bersemayam di gubuknya si miskin.”
Itulah 5 alasan kenapa saya menyebut Bung Karno sebagai pemikir Islam
progressif. Dan karena itu, saya kira penting untuk memasukkan Bung
Karno sebagai salah satu pemikir Islam nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar