Kamis, 03 November 2016

Perkuat Persatuan Nasional, Menangkan Pancasila!


Hasil gambar untuk satoe nusa satoe bangsa

Para pendiri Republik ini tahu betul betapa jahatnya kolonialisme: pemiskinan, diskriminasi, dan penindasan. Mereka semua merasakan betapa sakitnya dicekik oleh kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan.
Karena itu, Republik ini diproklamirkan dengan sebuah cita-cita tinggi: kesejahteraan dan keadilan sosial. Cita-cita itulah yang menjadi imajinasi bersama sekaligus pemersatu berbagai suku, agama dan ras dalam sebuah bangsa bernama INDONESIA.
Di dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan salah satu tujuan pendirian Negara adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Lalu, di dalam Pancasila ada prinsip keadilan sosial. Ini menunjukkan bahwa kesejahteraan dan keadilan sosial menjadi pilar terpenting yang meneguhkan cita-cita kebangsaan kita.
Namun, setelah 71 tahun Indonesia Merdeka, cita-cita itu belum mendekat juga. Sudah 7 kali berganti kepemimpinan nasional, kita belum terbebas dari persoalan kemiskinan dan ketimpangan. Hingga sekarang masih ada 26 juta rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan (versi BPS).
Ketimpangan pendapatan juga masih tinggi. Rasio Gini kita di Maret 2016 masih 0,39. Belum lagi ketimpangan pemilikan aset/kekayaan hingga konsumsi. Merujuk pada laporan Bank Dunia pada Desember 2015, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77 persen kekayaan di negeri ini. Lebih kontras lagi, 1 persen orang terkaya tersebut menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisa kekayaan yang 50 persen lagi diperebutkan oleh 99 persen penduduk alias 247,5 juta jiwa.
Dari segi konsumsi, di tahun 2002, konsumsi 10 persen orang terkaya di Indonesia setara dengan total konsumsi 42 persen penduduk termiskin. Ketimpangan meningkat pada 2014, dimana konsumsi 10 persen orang terkaya menjadi setara dengan total konsumsi 54 persen penduduk termiskin.
Ketimpangan penguasaan tanah lebih parah lagi. Rasio gini pemilikan tanah di Indonesia sudah 0,6. Temuan Badan Pertanahan Nasional tak kalah memerihkan: hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah.
Ketimpangan ini mencerminkan ketidakadilan dalam pengelolaan ekonomi. Pangkal masalahnya: ekonomi kita tidak dikelola menurut prinsip pasal 33 UUD 1945, melainkan mengikuti skema ekonomi yang dikehendaki kapitalisme global: neoliberalisme.
Neoliberalisme memaksa negara melepas pengaturan ekonominya kepada mekanisme pasar. Semua aset nasionalnya, termasuk yang menguasai hajat hidup orang banyak, dipaksakan harus diserahkan kepada swasta melalui skema privatisasi. Sektor-sektor ekonomi harus dibuka selebar-lebarnya bagi investasi asing melalui serangkaian paket deregulasi.
Akhirnya, negeri yang begitu kaya raya ini habis dikaveling oleh korporasi asing. Kekayaan nasional negeri makin terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Sementara mayoritas rakyatnya hidup dengan kondisi pas-pasan, sebagai buruh dengan upah murah atau pekerja sektor informal.
Itulah masalah bangsa kita saat ini. Pertama, kemiskinan dan ketimpangan yang berakar pada sistim ekonomi yang sangat pro-kapital dan pro-pasar. Kedua, keterjajahan ekonomi dalam bungkus barunya: neoliberalisme.
Sayangnya, entah karena kurangnya analisa ekonomi-politik, persoalan itu tersamarkan menjadi seolah-olah persoalan penguasaan ekonomi oleh ras tertentu. Akibatnya, ekspresi ketidakpuasan atas kemiskinan dan ketimpangan bukan menyasar pada akar ekonomi-politiknya, yakni neoliberalisme, melainkan dibelokkan menjadi kebencian terhadap etnis/ras tertentu.
Beberapa hari terakhir ini, terutama menjelang aksi tanggal  4 November 2016, kita terpolarisasi makin tajam karena sentimen etnis dan keagamaan. Sesama anak bangsa berhadap-hadapan karena menguatnya politik berbasis identitas.
Menggelar aksi merupakan hak demokratik setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, aksi merupakan metode perjuangan bagi siapapun untuk memperjuangkan haknya. Karena itu, hak demokratik itu tidak boleh dihambat, dilecehkan, apalalagi dilarang.
Namun, yang perlu dipersoalkan adalah isi kampanye dan tuntutannya. Jangan membakar sentimen SARA yang justru mempolarisasi kita berdasarkan perbedaan bentuk fisik, warna kulit dan agama/kepercayaan.
Pertama, politik identitas berbasis SARA ini justru mengalihkan perhatian kita pada persoalan struktural, yakni persoalan ekonomi-politik. Akibatnya, ekspresi kemarahan kita tidak menyentuh persoalan pokok.
Kedua, politik identitas ini justru berpotensi memecah-belah kita sebagai sebuah bangsa. Menguatnya sentimen etnisitas, ras, dan agama mengancam eksistensi kebangsaan kita.
Nah, pertanyaannya: siapa yang diuntungkan dari situasi ini? Jawabannya: kekuatan ekonomi yang saat ini sedang menguasai dan menjarah kekayaan bangsa kita.
Karena itu, bangsa kita butuh persatuan nasional. Hanya persatuan nasional yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari ancaman politik pecah-belah. Akan tetapi, seruan persatuan nasional akan menjadi absurd jika tidak dibasiskan pada kebutuhan mengatasi keterjajahan ekonomi saat ini. Seruan persatuan nasional akan menjadi frase kosong jika tidak menyelesaikan persoalan ketimpangan dan kemiskinan.
Karena itu, persatuan nasional harus diletakkan pada dua kerangka dasar: pertama, memenangkan cita-cita kemerdekaan nasional; dan kedua, memenangkan Pancasila. Dan dua kerangka itu menuju pada muara yang sama: mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Perkuat Persatuan Nasional, Menangkan Pancasila!


Hasil gambar untuk satoe nusa satoe bangsa

Para pendiri Republik ini tahu betul betapa jahatnya kolonialisme: pemiskinan, diskriminasi, dan penindasan. Mereka semua merasakan betapa sakitnya dicekik oleh kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan.
Karena itu, Republik ini diproklamirkan dengan sebuah cita-cita tinggi: kesejahteraan dan keadilan sosial. Cita-cita itulah yang menjadi imajinasi bersama sekaligus pemersatu berbagai suku, agama dan ras dalam sebuah bangsa bernama INDONESIA.
Di dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan salah satu tujuan pendirian Negara adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Lalu, di dalam Pancasila ada prinsip keadilan sosial. Ini menunjukkan bahwa kesejahteraan dan keadilan sosial menjadi pilar terpenting yang meneguhkan cita-cita kebangsaan kita.
Namun, setelah 71 tahun Indonesia Merdeka, cita-cita itu belum mendekat juga. Sudah 7 kali berganti kepemimpinan nasional, kita belum terbebas dari persoalan kemiskinan dan ketimpangan. Hingga sekarang masih ada 26 juta rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan (versi BPS).
Ketimpangan pendapatan juga masih tinggi. Rasio Gini kita di Maret 2016 masih 0,39. Belum lagi ketimpangan pemilikan aset/kekayaan hingga konsumsi. Merujuk pada laporan Bank Dunia pada Desember 2015, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77 persen kekayaan di negeri ini. Lebih kontras lagi, 1 persen orang terkaya tersebut menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisa kekayaan yang 50 persen lagi diperebutkan oleh 99 persen penduduk alias 247,5 juta jiwa.
Dari segi konsumsi, di tahun 2002, konsumsi 10 persen orang terkaya di Indonesia setara dengan total konsumsi 42 persen penduduk termiskin. Ketimpangan meningkat pada 2014, dimana konsumsi 10 persen orang terkaya menjadi setara dengan total konsumsi 54 persen penduduk termiskin.
Ketimpangan penguasaan tanah lebih parah lagi. Rasio gini pemilikan tanah di Indonesia sudah 0,6. Temuan Badan Pertanahan Nasional tak kalah memerihkan: hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah.
Ketimpangan ini mencerminkan ketidakadilan dalam pengelolaan ekonomi. Pangkal masalahnya: ekonomi kita tidak dikelola menurut prinsip pasal 33 UUD 1945, melainkan mengikuti skema ekonomi yang dikehendaki kapitalisme global: neoliberalisme.
Neoliberalisme memaksa negara melepas pengaturan ekonominya kepada mekanisme pasar. Semua aset nasionalnya, termasuk yang menguasai hajat hidup orang banyak, dipaksakan harus diserahkan kepada swasta melalui skema privatisasi. Sektor-sektor ekonomi harus dibuka selebar-lebarnya bagi investasi asing melalui serangkaian paket deregulasi.
Akhirnya, negeri yang begitu kaya raya ini habis dikaveling oleh korporasi asing. Kekayaan nasional negeri makin terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Sementara mayoritas rakyatnya hidup dengan kondisi pas-pasan, sebagai buruh dengan upah murah atau pekerja sektor informal.
Itulah masalah bangsa kita saat ini. Pertama, kemiskinan dan ketimpangan yang berakar pada sistim ekonomi yang sangat pro-kapital dan pro-pasar. Kedua, keterjajahan ekonomi dalam bungkus barunya: neoliberalisme.
Sayangnya, entah karena kurangnya analisa ekonomi-politik, persoalan itu tersamarkan menjadi seolah-olah persoalan penguasaan ekonomi oleh ras tertentu. Akibatnya, ekspresi ketidakpuasan atas kemiskinan dan ketimpangan bukan menyasar pada akar ekonomi-politiknya, yakni neoliberalisme, melainkan dibelokkan menjadi kebencian terhadap etnis/ras tertentu.
Beberapa hari terakhir ini, terutama menjelang aksi tanggal  4 November 2016, kita terpolarisasi makin tajam karena sentimen etnis dan keagamaan. Sesama anak bangsa berhadap-hadapan karena menguatnya politik berbasis identitas.
Menggelar aksi merupakan hak demokratik setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, aksi merupakan metode perjuangan bagi siapapun untuk memperjuangkan haknya. Karena itu, hak demokratik itu tidak boleh dihambat, dilecehkan, apalalagi dilarang.
Namun, yang perlu dipersoalkan adalah isi kampanye dan tuntutannya. Jangan membakar sentimen SARA yang justru mempolarisasi kita berdasarkan perbedaan bentuk fisik, warna kulit dan agama/kepercayaan.
Pertama, politik identitas berbasis SARA ini justru mengalihkan perhatian kita pada persoalan struktural, yakni persoalan ekonomi-politik. Akibatnya, ekspresi kemarahan kita tidak menyentuh persoalan pokok.
Kedua, politik identitas ini justru berpotensi memecah-belah kita sebagai sebuah bangsa. Menguatnya sentimen etnisitas, ras, dan agama mengancam eksistensi kebangsaan kita.
Nah, pertanyaannya: siapa yang diuntungkan dari situasi ini? Jawabannya: kekuatan ekonomi yang saat ini sedang menguasai dan menjarah kekayaan bangsa kita.
Karena itu, bangsa kita butuh persatuan nasional. Hanya persatuan nasional yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari ancaman politik pecah-belah. Akan tetapi, seruan persatuan nasional akan menjadi absurd jika tidak dibasiskan pada kebutuhan mengatasi keterjajahan ekonomi saat ini. Seruan persatuan nasional akan menjadi frase kosong jika tidak menyelesaikan persoalan ketimpangan dan kemiskinan.
Karena itu, persatuan nasional harus diletakkan pada dua kerangka dasar: pertama, memenangkan cita-cita kemerdekaan nasional; dan kedua, memenangkan Pancasila. Dan dua kerangka itu menuju pada muara yang sama: mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Minggu, 02 Oktober 2016

SAMBUTAN SEKJEN PDI PERJUANGAN RAKERCABSUS DPC PDI PERJUANGAN KOTA YOGYAKARTA.



Memahami Yogyakarta, adalah memahami budayanya. Sejarah kebudayaan Yogyakarta, sejarah sebuah kota Yogya, bukan saja sejarah dinamika tarik menarik sejarah kekuasaan sejak masa Mataram sampai dengan Kemerdekaan Indonesia, tapi juga ada yang menarik di dalamnya untuk dipelajari.
Dari Gunung Merapi-Tugu-Keraton- Panggung Krapyak sampai Laut Selatan, terdapat garis imajiner, Merapi adalah gerak alam, Tugu yang kerap disebut tugu Golong Gilig, Golong (Raja) dan Gilig (Rakyat), sebuah monumen yang menggambarkan hubungan harmonis antara Raja dan Rakyatnya, juga sebuah gambaran “Manunggaling Kawulo Gusti”, hubungan antara manusia dan Tuhan. Dari Ujung Merapi sampai Laut Selatan, terdapat Keraton, disini Keraton merupakan keseimbangan antara Api dan Air, keseimbangan yang menandakan gerak alam teratur karena wibawa Raja yang bijaksana. Garis poros imajiner itu juga berarti “Sangkan Paraning Dumadi”, Keinsyafan akan asal dan tujuan hidup manusia.
Keraton sebagai pusat, sebagai “mandala” dari keempat poros (kiblat papat lima pancer). Di tengah-tengah, di jantung kota itulah berdiri Kraton Yogyakarta. Membentang antara Tugu sebagai batas utara dan Panggung Krapyak di batas selatan, antara Sungai Code di timur dan Sungai Winongo sebelah barat. Antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, Kraton dalam pikiran masyarakat Jawa, diartikan sebagai pusat dunia yang digambarkan sebagai pusat jagad.
Keraton sebagai tempat pemerintahan, Masjid sebagai tempat beribadah kepada Tuhan, Alun-Alun sebagai Pralambang rakyat, dan Pasar sebagai Pralambang ekonomi, semua seimbang dan menjadi satu dalam gerak hidup manusia. Itulah tata kota di Yogyakarta yang bila dipelajari menjadi semakin dalam maknanya.
Dalam hari pasaran Jawa, pasar-pasar ditentukan waktunya, seperti Pasar Pon, Pasar Legi Pasar Wage, Pasar Rebo atau Pasar Kliwon, dalam memaknai ini, kebudayaan Jawa melihat bahwa perdagangan bukanlah penumpukan kapital, tapi Pasar adalah sebuah “penghayatan ruang waktu yang kosmis dan seimbang”. Pasar bukanlah tempat menumpuk kekayaan, tapi Pasar adalah sebuah “kegembiraan pertemuan”. Kita sekarang seakan kehilangan itu, tapi di Yogyakarta keadaan itu terselamatkan, adanya Pasar Beringhardjo yang “ngangeni”, selasar-selasar pertokoan di Malioboro, menjadikan Pasar bukan sekedar tempat jual beli yang beku, tapi sebuah ruang besar pertemuan-pertemuan yang mengikat hati dan tempat kegembiraan bersemayam.
Dalam bentuk bangunan Yogyakarta, ada pendopo besar di depan rumah. Pendopo itu adalah pralambang bermusyawarah dan bermufakat, lambang demokrasi asli Nusantara, dan dari Pendopo itu pula terdapat semangat “Gotong Royong”, gotong royong adalah jiwa asli Nusantara.
Kebudayaan adalah akar otentik Yogya dalam melihat kota-nya, dalam melihat masyarakatnya, dalam melihat cara berkomunikasinya, saling merangkul dan penuh canda, seperti Dagelan Mataram, yang jenaka tapi bila mendengarnya dibalik tawa kita terdapat banyak renungan hidup, dan saya sendiri yang dibesarkan di Yogya akan tertawa namun tercerahkan bila mengenang lawakan Basiyo yang melegenda itu.
Yogyakarta adalah ruang kota yang tumbuh dalam senyap tapi gempita, ruang kota yang mampu membawa kenyamanan dalam hati, di tembok-tembok kotanya yang penuh lukisan mural, di wajah-wajah anak mudanya yang bermusik dengan gembira, di Malioboro yang penuh kenangan itu dimana disana lahir banyak seniman dan budayawan besar seperti : WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, Ebiet G Ade, Umbu Landu Paranggi sampai Butet Kertaradjasa. Yogya adalah sebuah warna, dari serius sampai guyon, dari gotong royong sampai semangat perlawananan, di wajah Yogya kita bisa melihat sejuta kenangan disana. Yogya memang setumpuk rindu di hati kita.
Dalam sejarah Republik, tentu Yogyakarta tidak bisa dipisahkan proses penting sejarah Republik Indonesia. Disinilah tempat dimana Revolusi Bersenjata mengalami puncaknya, tempat dimana Bung Karno, Bung Hatta dan pemimpin lainnya dengan bantuan dari Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono IX membentuk Ibukota Republik Indonesia dalam sebuah pengungsian. Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang pasang badan sejak awal atas penyelamatan Republik, sampai dengan penyelesaian kedaulatan Republik Indonesia di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mengantarkan kedaulatan itu di Istana Merdeka Jakarta, pada Bulan Desember 1949.
Tentu pula kita ingat, bagaimana berduyun-duyun rakyat di Yogyakarta, jam 9 pagi pada 19 desember 1961, berdiri tegak, dengan wajah penuh hormat pada bendera merah putih yang berkibaran, di tengah tubuh “pathing greges” menahan dingin air hujan, tak bergerak sedikitpun walau diguyur hujan deras, mereka melihat pidato Bung Karno yang mengobarkan perintah Trikora, perintah merebut Irian Barat ke dalam pangkuan Republik Indonesia, dan rakyat Yogyakarta berseru-seru menggema bersama seluruh rakyat Indonesia melaksanakan perintah itu. Disitulah Indonesia menjadi sebuah keberanian yang tertanam di seluruh hati rakyat Indonesia.
PDI Perjuangan tentu memiliki kenangan romantis tersendiri tentang Yogyakarta, sejarah perjuangannya, terutama Ibu Megawati Sukarnoputeri yang lahir di Yogya, dimana ketika beliau lahir ada gumpalan-gumpalan mega di langit kota Yogyakarta, sehingga nama Ibu Megawati mulai dari gumpalan-gumpalan langit. Mendung di Kota Yogya, saat Bu Mega lahir, dikenang secara romantis oleh Bung Karno ketika mengingat kelahiran puterinya.
Yogyakarta juga memiliki kenangan romantis bagi Bung Karno baik dari sisi spiritual dan intelektual, di Yogyakarta Bung Karno berkawan baik dengan Prof.Kahar Muzzakir dari Kotagede Yogyakarta, mendapatkan banyak pemahaman tentang pendidikan berkarakter Indonesia dari Ki Hadjar Dewantoro, dan mendapatkan pemahaman spiritual yang tinggi tentang “ilmu bahagia” dari tokoh besar Yogyakarta, Ki Ageng Suryomentaram. Tentunya ini menambah wawasan kebangsaan dan daya juang Bung Karno dalam menanamkan semangat nasionalisme, semangat kebudayaan dan semangat membangun karakter manusia Indonesia.
Jelas, bagi PDIPerjuangan. Yogyakarta memiliki arti penting dalam kemenangan politiknya di kota ini. Karena disinilah jantungnya tanah Jawa, sebuah pusat kebudayaan, disinilah semangat kemerdekaan berkobaran, disinilah anak-anak muda Indonesia lahir dengan cara kreatif, memenangkan politik di Yogyakarta akan memberikan warna tersendiri dalam sejarah perjuangan politik PDIPerjuangan.
Kemenangan politik di Yogyakarta, akan membawa idealisme yang terus menerus. Yogya memang mengalami dinamika perkembangan jaman, perubahan-perubahan terus ada, tapi ada satu yang statis, ada satu yang tetap yaitu jiwa budayanya.
Untuk itulah PDIPerjuangan juga membuka sekolah politik di Yogyakarta, membentuk pendidikan bagi kader-kadernya dengan bermacam-macam pendidikan, seperti Kebudayaan, seperti Pelatihan komunikasi politik sampai pada pendidikan berbasis ideologi.
Dari Yogyakarta inilah PDI Perjuangan bangkit dan memenangkan pertarungan politik, sekaligus menghidupkan kembali idealisme Yogya sebagai semangat kebudayaan nasional.
Selamat Hari Batik Nasional yang jatuh pada hari ini, 2 Oktober. Mari kita jaga batik sebagai warisan tiada tara dari Nusantara.

Rabu, 28 September 2016

Kisah Tragis Persahabatan Soekarno dan Kartosoewirjo


Hasil gambar untuk poto sukarno dan kartosuwiryo
Hasil gambar untuk poto sukarno dan kartosuwiryoSOEKARNO dan Kartosoewirjo merupakan sahabat karib yang sama-sama berjuang melawan penjajah asing menuju Indonesia merdeka. Mereka sama-sama berguru kepada Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, dan membaca kitab-kitab marxisme.

Hubungan persahabatan mereka sudah terjalin sejak tahun 1918. Sejauh mana keakraban keduanya? Pengagum Soekarno, Roso Daras memotret keakraban tersebut dalam bentuk percakapan, hingga membuat suasana hubungan mereka terasa hangat.

Kisah itu bermula dari pesan Tjokroaminoto yang menyatakan, "Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan, dan bicaralah seperti orator". Pesan itu sangat diingat Soekarno, hingga setiap malam dia selalu belajar pidato.

Setiap Soekarno belajar berpidato, suaranya yang lantang terdengar sangat mengganggu kawan-kawannya yang juga tinggal di rumah Tjokroaminoto, seperti Muso, Alimin, Kartosuwirjo, dan Darsono. Tidak jarang, mereka yang mendengar tertawa.

Bahkan, sering kali saat Soekarno sedang belajar berpidato, kawan-kawannya yang lebih senior memintanya untuk berhenti, karena merasa terganggu. Namun, Soekarno tetap melanjutkan pidatonya di depan kaca, di dalam kamarnya yang gelap.

Salah seorang kawan Soekarno di rumah Tjokroaminoto yang tidak pernah bosan memberikan kritik atas pidato-pidatonya adalah Kartosuwirjo. Namun, tidak jarang kritik yang dilontarkan Kartosuwirjo lebih kepada ejekan.

“Hei Karno, buat apa berpidato di depan kaca? Seperti orang gila saja,” kata Kartosuwirjo suatu kali, kepada Soekarno yang tengah belajar berpidato. Mendengar celetukan itu, Soekarno diam saja terus melanjutkan pidatonya.

 Setelah pidatonya selesai, dia baru membalas ejekan Kartosoewirjo. Kalimat pertamanya adalah penjelasan kenapa dia belajar berpidato sebagai persiapan untuk menjadi orang besar. Pada kalimat kedua, Soekarno baru membalas ejekan kawannya itu.

"Tidak seperti kamu, sudah kurus, kecil, pendek, keriting, mana bisa jadi orang besar!” ketus Soekarno dibarengi oleh tawa keduanya. Peristiwa itu terus berulang di rumah Tjokroaminoto, hingga keduanya tumbuh dewasa.

Impian Soekarno untuk menjadi orang besar terwujud. Meletusnya pemberontakan komunis 1926-1927, membukakan jalan baginya untuk mendirikan partai politik yang bercorak nasionalis. Sementara Kartosoewirjo terus berjuang bersama Tjokroaminoto.

Dia bahkan menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto, dan memilih Islam sebagai ideologi perjuangannya. Buku-buku marxisme yang dibacanya sama sekali tidak memengaruhinya untuk menjadi merah, dan ke kiri-kirian, seperti kebanyakan temannya. 

Sebaliknya, ideologi Islam yang diperjuangkannya justru semakin kuat. Dengan marxisme sebagai pisau analisa, pemikiran Kartosoewirjo tentang penghisapan kapitalisme semakin tajam, dan kritis. Karir politiknya pun terus melonjak.

Perpecahan mulai timbul setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Terjadi tarik menarik kekuatan arah republik, antara yang menghendaki negara Uni Belanda, negara komunis, dan negara Islam.

Soekarno yang menyerap memiliki banyak ideologi, mulai dari marxis, Alquran dan Islam, serta kitab lainnya tidak ingin Indonesia menjadi negara Uni Belanda, komunis, dan berazaskan Islam. Sebaliknya, dia menawarkan asaz Pancasila.
Menurutnya, Pancasila adalah ideologi yang tumbuh dari bumi pertiwi, sesuai dengan pergulatan batin, intelektual, dan budaya luhur bangsa. Usulan Pancasila ini kemudian disampaikan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945.

Perlawanan hebat pertama-tama datang dari pihak komunis. Tahun 1948, kelompok Muso memproklamirkan Negara Madiun sebagai poros Soviet. Peristiwa yang dikenal dengan Pemberontakan Madiun ini dengan mudah ditumpas Pemerintah Republik.

Pemberontakan hebat selanjutnya datang dari Kartosoewirjo, saat diproklamasikannya Negara Islam Indonesia (NII), di Tasikmalaya, pada 7 Agustus 1949. Pemberontakan ini bahkan sanggup menyebar ke Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan.

Pemberontakan Kartosoewirjo berhasil ditumpas dengan tertangkapnya dia oleh pasukan TNI di Gunung Geber, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962. Dia lalu dijatuhi hukuman mati. Yang menyedihkan, surat hukuman mati itu ditandatangani oleh Soekarno.

Sempat terjadi pergolakan hebat dalam batin Soekarno, saat harus membunuh sahabat karibnya sendiri, saudara seperguruan, dan teman seperjuangannya Kartosoewirjo. Tanpa tanda tangan Soekarno, tentu Kartowoewirjo tidak akan ditembak mati.

Proses eksekusi terhadap Kartosoewirjo sempat tertunda hingga tiga bulan. Sebabnya, Soekarno selalu menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri Kartosoewirjo, manakala berkas itu berada di atas meja kerjanya.

Peristiwa ini sempat membuat Soekarno frustasi, hingga akhirnya dia lempar berkas vonis tersebut ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya. Saat itu, putrinya Megawati Soekarnoputri lah yang menyadarkan sang ayah untuk kembali.
 Megawati menggambarkan luhurnya hakikat pertemanan sejati, namun dia mengingatkan Soekarno agar menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, serta tidak mencampur-adukkan antara hakikat persahabatan dengan tugasnya.

Akhirnya, pada September 1962, setelah lama termenung di meja kerjanya, dia menggoreskan tanda tangannya di atas berkas vonis Kartosoewirjo. Seketika, dia ingat hari-hari bersama Kartosoewirjo di medan perang.

Masih terdengar canda dan tawa, serta diskusi-diskusi politik, agama, kebangsaan, dan apa saja yang begitu hangat dengan sahabatnya itu. Dia lalu mengambil selembar foto Kartosoewirjo, dan menatapnya lama-lama, sambil berlinangan air mata.

Saat melihat foto sahabatnya itu, Soekarno tersenyum dan berkata, “Sorot matanya masih tetap. Sorot matanya masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang pejuang.”

Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo, pada 5 September 1962, di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta. ( Reportase Hasan Kurniawan )

Kumpulan kata - kata bijak

" Bersikap Sabar dan Ikhlas dalam menghadapi musibah merupakan pertanda kita akan mendapat kebahagiaan yang hakiki "

" Saat ujian menyapa, bersyukurlah Karena ujian itu sangat ampuh menjadikanmu sabar, ikhlas dan semakin menguatkan pijakanmu di bumi-Nya"

" Tegak lurus Atas perintah Partai, jalanpun akan terbuka dalam menegakan kebenaran dan keadilan "

" Satukan hati dan pikiran untuk sebuah perubahan besar "

" Jangan menyerah ayas impianmu, impian memberikanmu tujuan hidup,ingatlah sukses bukan kunci kebahagiaan, kebahagiaanlah kunci sukses "

" Kata kata bisa bermakna bila kata tersebut bisa memberikan hal yang positif "

 " jalan terjal bukan sebuah halangan dalam memgapai harapan baru, walau terdapat tikungan tikungan tajam selama kita menjalani dengan aturan yang digariskan pasti kita akan sampai ke tujuan."

 "Hati yang kuat takkan pernah goyah dengan berbagai tekanan, karena tekad telah mengalahkan segalanya"

"Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini: suatu karunia alam. Dan yang terpenting diatas segala-galanya ialah keberaniannya. Kesederhaan adalah kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan.( pramoedya ananta toer )





Senin, 19 September 2016

PERANAN GERAKAN BURUH


Gerakan buruh di masa Bung Karno


Di Indonesia, di bawah kepemimpinan presiden Sukarno, gerakan buruh pernah menjadi bagian yang amat penting dari kehidupan bangsa. Bung Karno, bersama pemimpin-pemimpin lainnya, pernah memberikan tempat yang terhormat kepada gerakan buruh dengan menyebutkannya sebagai “soko guru revolusi”. Perwakilan kaum buruh diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, MPRS , DPR, Front Nasional, dan berbagai lembaga negara penting lainnya. Gerakan buruh Indonesia, selama kurun waktu itu, mempunyai citra yang tinggi dan mendapat penghargaan dari gerakan buruh sedunia.

Salah satu di antara banyak kejahatan besar rejim militer Orde Baru di bawah Suharto adalah “dibunuhnya” gerakan buruh, dipangkasnya kekuatan buruh dari kehidupan politik nasional, ditangkapnya atau dibunuhnya - secara besar-besaran ! - para pemimpin dan kader serikat buruh dengan dalih bahwa mereka adalah simpatisan atau anggota PKI. Selama Orde Baru serikat buruh telah dibungkem, dan diganti dengan serikat buruh gadungan atau serikat buruh kuning (dengan nama FBSI, Federasi Buruh Seluruh Indonesia) yang sepenuhnya menjadi alat rejim militer Orde Baru. Aktivitas serikat buruh dikontrol secara ketat, dan siapapun tidak boleh mendirikan serikat buruh, sedangkan Hari Buruh 1 Mei (yang sejak proklamasi 45 sudah dirayakan sampai tahun 1965) juga dilarang.

Sesudah Suharto sudah tidak lagi menjadi pemimpin rejim militer Orde Baru, maka mulailah kembali berbagai serikat buruh yang meliputi macam-macam sektor atau bidang.

Belasan ribu serikat buruh di seluruh Indonesia

Sekarang ini terdapat diseluruh Indonesia lebih dari sebelas ribu serikat buruh yang bernanung di bawah sekitar 70 federasi. Gerakan buruh yang selama 32 tahun dibungkem, telah bangkit kembali secara pelan-pelan. Serikatburuh-serikat buruh ini memainkan peran yang makin lama makin penting dalam perjuangan rakyat menghadapi berbagai persoalan ekonomi dan sosial bangsa.

Sebagian terbesar dari serikat buruh Indonesia yang bermacam-macam ini merupakan kekuatan non-pemerintah dan independen , yang memikul tugas untuk membela kepentingan para anggotanya untuk berhadapan dengan negara (pemerintah) dan pengusaha dalamnegeri dan modal asing. Tugas yang demikian itu tidaklah mudah atau ringan, berhubung masih adanya sikap yang keliru, yang kolot, yang buruh-phobie atau anti-buruh. Memang, tuduhan yang salah bahwa gerakan buruh adalah alat golongan komunis (atau didalangi PKI, atau beraliran kiri) sekarang sudah menjadi barang dagangan yang tidak laku lagi atau tidak dipercayai oleh banyak orang, tetapi orang-orang yang sudah terkontaminasi oleh kiri-phobie atau buruh-phobie juga masih masih ada di berbagai kalangan.

Dalam daftar nama serikatburuh dan federasi buruh Indonesia yang dikeluarkan oleh badan PBB ILO (International Labour Organisation) tercermin di situ bahwa serikat buruh atau federasi buruh Indonesia ini terdiri dari macam-macam aliran atau pandangan politik, agama, dan juga golongan etnis atau suku. Beraneka ragam serikat buruh ini sudah menyebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Para aktivis gerakan buruh Indonesia patut sekali bangga bahwa sekarang di negeri kita ada kekuatan yang bisa menjadi alat, atau tameng, atau senjata rakyat banyak, yaitu yang berupa berbagai macam serikat buruh, yang makin lama memainkan peran yang makin penting. Dan makin berkembangnya atau makin besarnya gerakan buruh di Indonesia tidak saja penting bagi perjuangan membela kepentingan sosial-ekonomi para anggotanya yang berjumlah puluhan juta orang ini, melainkan juga penting bagi perjuangan rakyat sebagai keseluruhan.
 
Kebangkitan gerakan buruh yang makin meluas di berbagai daerah dewasa ini adalah perkembangan yang penting sekali dalam usaha bangsa kita untuk membela kepentingan rakyat dalam perjuangan bersama meraih perbaikan hidup melalui penyelenggaraan negara yang lebih baikyang.selama 32 tahun gerakan buruh di Indonesia telah dikebiri, dibius, atau dicekek oleh rejim militer Orde Baru.yang  Berkembangnya gerakan buruh di Indonesia merupakan kebutuhan yang mutlak ketika rakyat sedang mengalami berbagai penderitaan yang disebabkan oleh banyaknya korupsi, dan juga oleh jeleknya berbagai politik pemerintah yang tidak mementingkan kepentingan rakyat.

Dalam situasi politik, ekonomi dan sosial seperti yang sedang kita alami dewasa ini, maka peran gerakan buruh serta berbagai ragam aksi-aksi extra-parlementer lainnya adalah senjata utama rakyat untuk melawan segala politik pemerintah (dan berbagai golongan lainnya) yang anti-rakyat dan berkabolarasi dengan kekuatan ekonomi asing di Indonesia. Karenanya, berkembangnya gerakan buruh yang kuat di Indonesia merupakan hal yang hanyalah menguntungkan seluruh bangsa, dan tidak merugikan siapa-siapa, kecuali kaum penghisap keringat rakyat.

Kalau dilihat secara jauh dan menyeluruh, kemenangan gerakan buruh adalah juga kemenangan seluruh rakyat Indonesia, seperti halnya kemenangan gerakan buruh di dunia bagi kepentingan rakyat masing-masing.

Tercapainya kesejahteraan rakyat di Eropa (dan di berbagai negeri lainnya) , seperti yang kita saksikan atau dengar sekarang ini, tidak bisa dilepaskan dari perjuangan gerakan buruh yang sudah berabad-abad lamanya. Tingkat hidup yang tinggi dan baiknya jaminan sosial di berbagai negeri Eropa adalah hasil yang diperoleh rakyat dari perlawanan panjang serikat buruh terhadap kelas penindas dan penghisap rakyat banyak. Dari sejarah berbagai negeri di dunia, terutama negeri-negeri Eropa, kelihatan sekali bahwa gerakan buruh menjadi salah satu motor yang maha penting bagi kemajuan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan di masing-masing negara.


Menghadapi kehidupan rakyat yang makin sulit

Dalam menghadapi banyaknya kesulitan-kesulitan besar dan penyakit parah yang dihadapi rakyat dewasa ini (korupsi yang terus merajalela, pengangguran yang besar sekali, kemiskinan yang meluas, sisa-sisa kejahatan keluarga Suharto, agressi modal asing dll dll) peran gerakan buruh Indonesia makin penting dan tanggungjawabnya juga makin berat. Kehidupan yang makin sulit dan penderitaan yang makin besar bagi kaum buruh (dan sebagian terbesar rakyat Indonesia lainnya) karena kenaikan harga sembako dan krisis pangan di dunial akan mendorong atau mengharuskan gerakan buruh Indonesia untuk menggalakkan perjuangannya di berbagai bidang.

Bangkitnya secara besar-besaran gerakan buruh Indonesia untuk membela kapentingan anggota-anggotanya, akan merupakan sumbangan besar (dan penting sekali !) kepada perjuangan bersama di bidang politik. Sebab, melalui aksi-aksi yang dilakukan gerakan buruh itu akan kelihatan dengan jelas bahwa banyak persoalan dan penderitaan yang dihadapi kaum buruh Indonesia adalah akibat dari jeleknya politik yang dijalankan oleh kekuasaan atau pemerintahan. Jadi persoalan ekonomi-sosial kaum buruh Indonesia berhubungan erat sekali dengan politik. Itu sebabnya, pada dasarnya, perjuangan gerakan buruh Indonesia juga tidak bisa terlepas sama sekali dari perjuangan politik.

Sekarang ini makin kelihatan bahwa partai-partai politik yang ada, baik yang di parlemen maupun yang dewan-dewan perwakilan rakyat di berbagai tingkat, sudah tidak mampu lagi membela kepentingan kaum buruh (dan rakyat) dengan sungguh-sungguh. Sebagian terbesar di antara mereka hanya sibuk dengan urusan partai masing-masing, urusan uang sidang atau perjalanan, urusan pribadi dan golongan saja. Karenanya, kaum buruh sudah tidak bisa menggantungkan sepenuhnya harapan mereka hanya kepada DPR atau pemerintah. Kaum buruh Indonesia, seperti halnya banyak kaum buruh di negeri-negeri lainnya, harus bangkit mandiri untuk memperjuangkan perbaikan hidup.anggota-anggotanya dan rakyat banyak.