Minggu, 02 Oktober 2016

SAMBUTAN SEKJEN PDI PERJUANGAN RAKERCABSUS DPC PDI PERJUANGAN KOTA YOGYAKARTA.



Memahami Yogyakarta, adalah memahami budayanya. Sejarah kebudayaan Yogyakarta, sejarah sebuah kota Yogya, bukan saja sejarah dinamika tarik menarik sejarah kekuasaan sejak masa Mataram sampai dengan Kemerdekaan Indonesia, tapi juga ada yang menarik di dalamnya untuk dipelajari.
Dari Gunung Merapi-Tugu-Keraton- Panggung Krapyak sampai Laut Selatan, terdapat garis imajiner, Merapi adalah gerak alam, Tugu yang kerap disebut tugu Golong Gilig, Golong (Raja) dan Gilig (Rakyat), sebuah monumen yang menggambarkan hubungan harmonis antara Raja dan Rakyatnya, juga sebuah gambaran “Manunggaling Kawulo Gusti”, hubungan antara manusia dan Tuhan. Dari Ujung Merapi sampai Laut Selatan, terdapat Keraton, disini Keraton merupakan keseimbangan antara Api dan Air, keseimbangan yang menandakan gerak alam teratur karena wibawa Raja yang bijaksana. Garis poros imajiner itu juga berarti “Sangkan Paraning Dumadi”, Keinsyafan akan asal dan tujuan hidup manusia.
Keraton sebagai pusat, sebagai “mandala” dari keempat poros (kiblat papat lima pancer). Di tengah-tengah, di jantung kota itulah berdiri Kraton Yogyakarta. Membentang antara Tugu sebagai batas utara dan Panggung Krapyak di batas selatan, antara Sungai Code di timur dan Sungai Winongo sebelah barat. Antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, Kraton dalam pikiran masyarakat Jawa, diartikan sebagai pusat dunia yang digambarkan sebagai pusat jagad.
Keraton sebagai tempat pemerintahan, Masjid sebagai tempat beribadah kepada Tuhan, Alun-Alun sebagai Pralambang rakyat, dan Pasar sebagai Pralambang ekonomi, semua seimbang dan menjadi satu dalam gerak hidup manusia. Itulah tata kota di Yogyakarta yang bila dipelajari menjadi semakin dalam maknanya.
Dalam hari pasaran Jawa, pasar-pasar ditentukan waktunya, seperti Pasar Pon, Pasar Legi Pasar Wage, Pasar Rebo atau Pasar Kliwon, dalam memaknai ini, kebudayaan Jawa melihat bahwa perdagangan bukanlah penumpukan kapital, tapi Pasar adalah sebuah “penghayatan ruang waktu yang kosmis dan seimbang”. Pasar bukanlah tempat menumpuk kekayaan, tapi Pasar adalah sebuah “kegembiraan pertemuan”. Kita sekarang seakan kehilangan itu, tapi di Yogyakarta keadaan itu terselamatkan, adanya Pasar Beringhardjo yang “ngangeni”, selasar-selasar pertokoan di Malioboro, menjadikan Pasar bukan sekedar tempat jual beli yang beku, tapi sebuah ruang besar pertemuan-pertemuan yang mengikat hati dan tempat kegembiraan bersemayam.
Dalam bentuk bangunan Yogyakarta, ada pendopo besar di depan rumah. Pendopo itu adalah pralambang bermusyawarah dan bermufakat, lambang demokrasi asli Nusantara, dan dari Pendopo itu pula terdapat semangat “Gotong Royong”, gotong royong adalah jiwa asli Nusantara.
Kebudayaan adalah akar otentik Yogya dalam melihat kota-nya, dalam melihat masyarakatnya, dalam melihat cara berkomunikasinya, saling merangkul dan penuh canda, seperti Dagelan Mataram, yang jenaka tapi bila mendengarnya dibalik tawa kita terdapat banyak renungan hidup, dan saya sendiri yang dibesarkan di Yogya akan tertawa namun tercerahkan bila mengenang lawakan Basiyo yang melegenda itu.
Yogyakarta adalah ruang kota yang tumbuh dalam senyap tapi gempita, ruang kota yang mampu membawa kenyamanan dalam hati, di tembok-tembok kotanya yang penuh lukisan mural, di wajah-wajah anak mudanya yang bermusik dengan gembira, di Malioboro yang penuh kenangan itu dimana disana lahir banyak seniman dan budayawan besar seperti : WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, Ebiet G Ade, Umbu Landu Paranggi sampai Butet Kertaradjasa. Yogya adalah sebuah warna, dari serius sampai guyon, dari gotong royong sampai semangat perlawananan, di wajah Yogya kita bisa melihat sejuta kenangan disana. Yogya memang setumpuk rindu di hati kita.
Dalam sejarah Republik, tentu Yogyakarta tidak bisa dipisahkan proses penting sejarah Republik Indonesia. Disinilah tempat dimana Revolusi Bersenjata mengalami puncaknya, tempat dimana Bung Karno, Bung Hatta dan pemimpin lainnya dengan bantuan dari Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono IX membentuk Ibukota Republik Indonesia dalam sebuah pengungsian. Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang pasang badan sejak awal atas penyelamatan Republik, sampai dengan penyelesaian kedaulatan Republik Indonesia di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mengantarkan kedaulatan itu di Istana Merdeka Jakarta, pada Bulan Desember 1949.
Tentu pula kita ingat, bagaimana berduyun-duyun rakyat di Yogyakarta, jam 9 pagi pada 19 desember 1961, berdiri tegak, dengan wajah penuh hormat pada bendera merah putih yang berkibaran, di tengah tubuh “pathing greges” menahan dingin air hujan, tak bergerak sedikitpun walau diguyur hujan deras, mereka melihat pidato Bung Karno yang mengobarkan perintah Trikora, perintah merebut Irian Barat ke dalam pangkuan Republik Indonesia, dan rakyat Yogyakarta berseru-seru menggema bersama seluruh rakyat Indonesia melaksanakan perintah itu. Disitulah Indonesia menjadi sebuah keberanian yang tertanam di seluruh hati rakyat Indonesia.
PDI Perjuangan tentu memiliki kenangan romantis tersendiri tentang Yogyakarta, sejarah perjuangannya, terutama Ibu Megawati Sukarnoputeri yang lahir di Yogya, dimana ketika beliau lahir ada gumpalan-gumpalan mega di langit kota Yogyakarta, sehingga nama Ibu Megawati mulai dari gumpalan-gumpalan langit. Mendung di Kota Yogya, saat Bu Mega lahir, dikenang secara romantis oleh Bung Karno ketika mengingat kelahiran puterinya.
Yogyakarta juga memiliki kenangan romantis bagi Bung Karno baik dari sisi spiritual dan intelektual, di Yogyakarta Bung Karno berkawan baik dengan Prof.Kahar Muzzakir dari Kotagede Yogyakarta, mendapatkan banyak pemahaman tentang pendidikan berkarakter Indonesia dari Ki Hadjar Dewantoro, dan mendapatkan pemahaman spiritual yang tinggi tentang “ilmu bahagia” dari tokoh besar Yogyakarta, Ki Ageng Suryomentaram. Tentunya ini menambah wawasan kebangsaan dan daya juang Bung Karno dalam menanamkan semangat nasionalisme, semangat kebudayaan dan semangat membangun karakter manusia Indonesia.
Jelas, bagi PDIPerjuangan. Yogyakarta memiliki arti penting dalam kemenangan politiknya di kota ini. Karena disinilah jantungnya tanah Jawa, sebuah pusat kebudayaan, disinilah semangat kemerdekaan berkobaran, disinilah anak-anak muda Indonesia lahir dengan cara kreatif, memenangkan politik di Yogyakarta akan memberikan warna tersendiri dalam sejarah perjuangan politik PDIPerjuangan.
Kemenangan politik di Yogyakarta, akan membawa idealisme yang terus menerus. Yogya memang mengalami dinamika perkembangan jaman, perubahan-perubahan terus ada, tapi ada satu yang statis, ada satu yang tetap yaitu jiwa budayanya.
Untuk itulah PDIPerjuangan juga membuka sekolah politik di Yogyakarta, membentuk pendidikan bagi kader-kadernya dengan bermacam-macam pendidikan, seperti Kebudayaan, seperti Pelatihan komunikasi politik sampai pada pendidikan berbasis ideologi.
Dari Yogyakarta inilah PDI Perjuangan bangkit dan memenangkan pertarungan politik, sekaligus menghidupkan kembali idealisme Yogya sebagai semangat kebudayaan nasional.
Selamat Hari Batik Nasional yang jatuh pada hari ini, 2 Oktober. Mari kita jaga batik sebagai warisan tiada tara dari Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar